Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman mengemukakan pandangannya mengenai penanganan pelanggaran hukum di Indonesia. Ia menyatakan bahwa tidak semua pelanggaran hukum, terutama yang bersifat ringan, harus diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Pernyataan ini disampaikan pada saat menerima Aliansi Mahasiswa Nusantara (Aman) dalam konteks revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, beberapa waktu lalu. Dalam konteks ini, ia memberikan contoh konkret mengenai guru yang menghadapi masalah hukum hanya karena menjewer murid yang nakal.
Habiburokhman menjelaskan bahwa banyak peraturan saat ini terlalu ketat dan membatasi interaksi antara pendidik dan murid. Ia mencatat, tindakan disipliner yang dulunya dianggap wajar, kini bisa berujung pada penalti hukum yang serius.
“Dulu kita sering dipukul dengan penggaris, namun hal itu membuat kita lebih tertib dan disiplin. Kini jabatan sebagai guru terkena dampaknya hingga harus berurusan dengan hukum,” ujar Habiburokhman. Ini menunjukkan adanya perubahan budaya dalam interaksi sosial yang perlu disikapi dengan bijak.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa konsep restorative justice bukanlah hal baru dalam budaya hukum Indonesia. Menurutnya, praktik ini sudah lama ada dalam sistem hukum adat yang berlaku di sejumlah daerah, termasuk Qanun di Provinsi Aceh.
Urgensi Restorative Justice dalam Budaya Hukum Indonesia
Habiburokhman berpendapat bahwa restorative justice lebih mencerminkan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. Konsep ini memungkinkan penyelesaian masalah tanpa harus melibatkan mekanisme hukum formal, terutama untuk kasus-kasus yang tidak terlalu serius.
“Dalam interaksi sosial, bukan hal yang asing jika dua pihak yang berselisih bisa berdiskusi dengan keluarga mereka masing-masing. Banyak dari konflik ini yang pada akhirnya membuat mereka saling mengenal lebih baik,” imbuhnya.
Triad sosial dan budaya, menurutnya, sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Hal ini sejalan dengan keinginan untuk membangun masyarakat yang lebih harmonis. Restorative justice memungkinkan adanya dialog yang produktif bagi kedua pihak yang berselisih.
Habiburokhman juga mencatat bagaimana situasi ini berbeda dari pendekatan hukum yang lebih formal dan seringkali tidak fleksibel. “Kita butuh cara-cara yang lebih manusiawi dalam menyelesaikan konflik. Keluarga dan masyarakat seharusnya terlibat aktif dalam proses tersebut,” tegasnya.
Dengan demikian, ia mendorong agar pemerintah mempertimbangkan lebih lanjut penerapan prinsip restorative justice dalam sistem hukum nasional. Ini adalah langkah awal yang penting untuk merevitalisasi hubungan sosial yang lebih baik.
Contoh Kasus yang Mencerminkan Tantangan Hukum
Dalam konteks hukum, Habiburokhman memberikan contoh nyata tentang persoalan-persoalan hukum sederhana yang bisa menimbulkan akibat yang tidak diinginkan. Kasus seperti guru yang hanya melakukan tindakan pendidikan, seperti menjewer, bisa berujung pada pembelajaran yang terlupakan.
“Ada banyak kasus di luar sana di mana tindakan pendidikan yang dianggap wajar oleh generasi sebelumnya, kini malah dianggap sebagai pelanggaran. Ini mencerminkan adanya perubahan pandangan dalam masyarakat,” ujarnya dengan menekankan pentingnya pemahaman konteks.
Dalam situasi seperti ini, ia sangat menekankan pentingnya dialog dan komunikasi antara para pihak yang terlibat. Dengan pemahaman yang baik, banyak konflik bisa diselesaikan tanpa harus memasuki ranah hukum yang berlarut-larut.
Habiburokhman juga mengingatkan akan adanya ancaman bagi profesi pendidikan jika situasi semacam ini tidak ditangani dengan bijaksana. Ketika guru merasa terancam oleh hukum, kualitas pendidikan bisa menurun.
“Kita harus menemukan keseimbangan antara menjaga disiplin dan memberikan keleluasaan bagi pendidik untuk mendidik dengan baik,” katanya sebagai penutup dari diskusi itu.
Pentingnya Menyusun Ulang Kebijakan Hukum
Ketua Komisi III DPR RI itu menegaskan perlunya menyusun ulang kebijakan hukum yang ada, terutama terkait masalah kecil yang sering kali jadi besar. Menurutnya, ini adalah upaya untuk menciptakan sistem hukum yang lebih responsif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat.
“Kita perlu merumuskan kembali undang-undang yang lebih adaptif terhadap perubahan sosial. Semangat untuk memperbaiki situasi harus ada di dalam setiap pengambilan keputusan,” ujarnya. Ia merasa bahwa undang-undang yang kaku justru akan menimbulkan lebih banyak masalah.
Dengan perubahan kebijakan yang tepat, diharapkan akan tercipta keadilan sosial yang lebih merata. Langkah ini juga akan mengurangi konflik yang berujung pada tindakan hukum yang tidak diperlukan.
Kebijakan yang lebih fleksibel akan mempermudah akses bagi masyarakat untuk menyelesikan permasalahan mereka sendiri. Situasi ini tentu saja akan membawa dampak positif bagi harmoni sosial yang ada di masyarakat.
Habiburokhman menutup dengan harapan agar semua pihak terlibat dalam proses perumusan kebijakan yang lebih baik. Diskusi yang terbuka adalah kunci untuk mencapai solusi yang berkelanjutan dan adil.