Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah menetapkan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait pengadaan laptop Chromebook. Penetapan ini menjadi sorotan, mengingat kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp 1,98 triliun diuji melalui berbagai bukti dan kesaksian yang muncul di publik.
Kasus ini berawal pada Februari 2020, ketika Nadiem Makarim yang saat itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan pertemuan dengan perwakilan dari Google Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, mereka membahas kemungkinan penggunaan produk Google dalam program Google O-Education yang bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Diskusi ini berfokus pada pemanfaatan Chromebook sebagai alat bantu pendidikan bagi para siswa di berbagai daerah, terutama wilayah yang kesulitan mengakses teknologi yang lebih maju. Dengan harapan, pengadaan ini dapat meningkatkan pendidikan di Indonesia yang dikenal masih menghadapi banyak tantangan.
Pertemuan yang Mengundang Kontroversi di Kementerian Pendidikan
Dalam pertemuan-pertemuan lanjutan, Nadiem dan timnya sepakat untuk melanjutkan rencana pengadaan laptop Chromebook. Kesepakatan ini didasarkan pada keinginan untuk menyediakan alat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang efisien dan terjangkau bagi para siswa.
Pada 6 Mei 2020, Nadiem mengadakan rapat tertutup secara daring bersama para pejabat di Kementerian Pendidikan. Rapat ini diadakan untuk merumuskan langkah-langkah strategis dalam pengadaan alat TIK, yang diwajibkan untuk menggunakan Chromebook sesuai instruksi yang dikeluarkan oleh Nadiem sendiri.
Penting untuk dicatat bahwa sebelumnya, menteri pendidikan yang menjabat, Muhadjir Effendi, tidak menanggapi surat dari Google terkait pengadaan ini. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dalam kebijakan dan pendekatan Kementerian Pendidikan di bawah kepemimpinan Nadiem.
Proses Pengadaan yang Dipertanyakan
Setelah pertemuan tersebut, Nadiem merespons surat dari Google untuk berpartisipasi dalam pengadaan alat TIK, meskipun sejauh ini belum ada resapan kebijakan sebelumnya. Proyek pengadaan tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan siswa di wilayah terpencil, tetapi faktanya, banyak yang mempertanyakan efektivitasnya.
“Dengan pengadaan yang berfokus pada Chromebook, kami memastikan bahwa spesifikasi alat TIK akan terjaga,” ungkap sumber dari Kementerian. Langkah ini dinilai kontroversial, mengingat pendekatan serupa tahun sebelumnya berakhir dengan kegagalan.
Tim teknis dari Kementerian kemudian menyusun kajian review teknis dan spesifikasi teknis yang sangat fokus pada penggunaan Chrome OS. Banyak yang merasa langkah ini berpotensi merugikan, sebab tidak ada alternatif yang dipertimbangkan dalam proses pengadaan tersebut.
Regulasi Baru yang Mengikat Spesifikasi TIK
Di bulan Februari 2021, Nadiem Makarim menerbitkan Permendikbud Nomor 5 Tahun 2021 mengenai petunjuk operasional dana alokasi khusus fisik di bidang pendidikan. Dalam lampiran peraturan tersebut, tercantum spesifikasi yang sudah terfokus pada penggunaan Chrome OS, mengunci pilihan bagi pihak yang akan mengadakan pengadaan alat TIK.
Regulasi ini semakin memunculkan pertanyaan, apakah kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan kepentingan terbaik bagi pendidikan di Indonesia ataukah lebih mengedepankan kepentingan tertentu. Perdebatan ini semakin rumit dengan munculnya berbagai suara skeptis dari masyarakat dan dunia pendidikan.
Sebagai hasil investigasi ini, banyak pihak kini menunggu hasil dari proses hukum yang akan dihadapi oleh Nadiem Makarim. Melanjutkan kasus ini menjadi penting untuk memastikan tidak ada lagi yang melanggar etika dalam pengadaan barang dan jasa di Kementerian Pendidikan.













